Minggu, 20 Juni 2010

ANTARA MENGHUKUM ATAU MEMPERMALUKAN : UPAYA MEMODIFIKASI PERILAKU

ANTARA MENGHUKUM ATAU MEMPERMALUKAN : UPAYA MEMODIFIKASI PERILAKU

(Pengalaman 6 SMU di Depok, Jawa Barat)


Abstrak
Dilema antara guilt (rasa bersalah) dan shameful (rasa malu) sudah lama menjadi topik menarik di bidang psikologi sosial. Dilema tersebut antara lain muncul dalam pembahasan mengenai kontrol sosial, perilaku sendiri, nilai moral individual, tingkat standar moral, pengaruh lintas budaya serta dalam situasi pendidikan. Diperkirakan pula, salahsatu yang lebih berperanan, entah itu aspek guilt atau aspek shameful, akan mempengaruhi pada cara bagaimana memodifikasi perilaku seseorang.

Studi ini menelaah mengenai kecenderungan di sekolah-sekolah menengah umum dalam memodifikasi perilaku siswa yang telah menampilkan perilaku atau tindakan yang dianggap sebagai salah, jahat, tidak tertib atau menyimpang dari norma sosial yang ada. Apakah kalangan guru di sekolah-sekolah tersebut menampilkan kecenderungan mengeksploitasi penghukuman (punishment) atau melakukan tindakan penciptaan rasa malu (shaming) siswa dikaitkan dengan apa yang sudah dilakukan siswa tersebut?

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa metode penghukuman ternyata merupakan satu-satunya cara memodifikasi perilaku yang diterapkan. Dan, temuan lain, diyakini bahwa dengan diberikan hukuman itulah lalu kemudian muncul rasa malu. Temuan ini nampaknya bersesuaian dengan karakter masyarakat Indonesia perihal beroperasinya guilt dan shameful.


Abstract
Such dilemma between guilt and shameful has been an interesting topic in the field of social psychology since few times ago. That dilemma persists when discussing social control, self-control, individual moral values, moral standard, cross-cultural influence as well as education-related setting. It is predicted, the one which is more influential, whether guilt aspect or shameful aspect, will one way or another influence the way somebody’s behavior can be modified.

This study investigates such tendency which prevails in public schools especially performed by pupils when treating their student’s misconduct. Research question forwarded is whether they exploit punishment or to create shaming feeling towards students who have made nuisances in school.

The result shows method of punishment has been the only way of modifying behavior which is regarded deviant. Other finding, it is believed that, having given such punishment, shameful feeling will follow. This finding is in association with the character of Indonesian society toward the way guilt and shamefull operate.

Key words: punishment, shame, guilt, modifying behavior, high school students

1. Pendahuluan
Setiap masyarakat mengembangkan mekanismenya sendiri-sendiri guna mengontrol perilaku anggota-anggotanya yang melakukan atau yang dianggap melakukan perilaku yang menyimpang. Khususnya bila penyimpangan tersebut dianggap intensional, tidak dapat diterima dan mengakibatkan kerugian serius (berupa timbulnya korban atau biaya dalam arti luas), muncullah konsep penghukuman (punishment).

Pada awalnya, penghukuman dilakukan dengan paradigma retributive dan merupakan reaksi langsung atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Paradigma retributive ini terlihat dalam semangat mengganjar secara setimpal berkaitan dengan perbuatan dan atau efek dari perbuatan yang telah dilakukan.
Paradigma penghukuman belakangan muncul dengan semangat agar orang tidak melakukan perbuatan yang diancamkan. Dengan kata lain, penghukuman dilakukan dengan semangkat menangkal (deterrence).

Perkembangan pemahaman mengenai kegunaan penghukuman sebagai instrumen dalam rangka metode pengubahan tingkah laku terlihat melalui munculnya paradigma rehabilitative. Paradigma tersebut melihat bahwa seseorang yang melanggar atau menyimpang dari aturan yang ada pada dasarnya adalah orang yang rusak, sakit, kekurangan, bermasalah atau memiliki ketidakmampuan sehingga melakukan perilaku tersebut. Oleh karena itu, melalui penghukuman atasnya, orang tersebut pada dasarnya hendak diperbaiki atau disembuhkan dari kekurangannya. Seiring dengan perubahan paradigma tersebut, bentuk-bentuk penghukuman pun berkembang, bervariasi dan, konon, semakin manusiawi.

Belakangan, muncul teori dari Braithwaite (1989) bahwa pemberian malu (shaming) khususnya bila dilakukan secara sistematis, komprehensif dan tidak final (sehingga disebut dengan integrative shaming) dapat dilihat sebagai salah satu bentuk penghukuman yang efektif. Kalau semua elemen masyarakat mempermalukan seorang koruptor, misalnya, tentunya para calon koruptor akan berpikir panjang untuk korupsi.

Sampai disini terdapat situasi bahwa, ternyata, tidak semua masyarakat memiliki perkembangan kemasyarakatan dengan mengandalkan penghukuman sebagai mekanisme peubah atau perilaku. Ada masyarakat seperti masyarakat Jepang yang tidak mengembangkan instrumen penghukuman dalam rangka membalas, menangkal atau merehabilitasi akibat dilakukannya suatu perbuatan.
Pada masyarakat Jepang, yang dikembangkan adalah pemahaman tentang malu (shaming) sebagai alat kontrol bagi individu sejauhmana telah conform atau tidak dengan nilai-nilai kelompoknya. Di Jepang, dengan demikian berlaku teori tentang presentasi diri (self-presentation) dalam kehidupan sehari-hari, dimana setiap orang diasumsikan memiliki peran yang seyogyanya ditaati agar kehidupan ‘bak pentas’ dapat berjalan.

Bila terjadi sesuatu yang dianggap melanggar atau menyimpang norma sosial yang ada, maka orientasinya ditujukan bahwa hal itu akan menimbulkan masalah dan rasa malu pada orang lain, sehingga orang yang melakukan ataupun orang yang sebenarnya tidak melakukan namun terkait dengan orang yang melakukan wajib mencegahnya (Leonardsen, 2001). Timbulnya rasa malu (shame) adalah hukuman itu sendiri. Selanjutnya, menurut Scheff & Retzinger (1991), rasa malu ini melahirkan alienasi pada pelakunya mengingat terputusnya hubungan dengan masyarakatnya (social disconnection).
Itulah yang membedakan shame dengan guilt (rasa salah) yang lebih terkait dengan kesadaran bahwa ada aturan yang dilanggar dan adanya konsekuensi hukuman yang kemudian harus dipikul. Menurut Kugler & Jones (1992), fenomena guilt ini amat relevan berkaitan dengan situasi sehari-hari khususnya yangmembutuhkan pertimbangan moralitas.

Dikaitkan dengan situasi masyarakat yang melihat penghukuman, dan bukan rasa malu, sebagai alat kontrol sosial, diduga bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dan subyek-subyek tertentu dimana situasi membuat orang (mungkin pula terhadap kelompok orang) merasa malu, mungkin akan lebih efektif.

Tata krama, nilai-nilai sosial dan moralitas adalah hal-hal yang secara tradisional dapat dianggap sebagai sesuatu yang, bila dilanggar atau bila diketahui dilanggar, akan membawa rasa malu pada pelakunya. Masalahnya, walaupun masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang konon bertatakrama tinggi, memiliki nilai sosial tinggi dan mengaku bermoralitas, shaming nampaknya hampir tidak pernah dipakai.

Rasa malu itu sendiri memang bisa menjadi pencegah dilakukannya perbuatan tertentu, tetapi diketahui sedikit sekali dikembangkan dalam rangka reaksi akibat dilakukannya perbuatan tertentu (dengan harapan menjadi pencegah pula pada waktunya).


2. Masalah
Situasi makro di atas dalam penelitian ini ditarik ke suatu situasi spesifik yang ditemui dalam konteks pendidikan siswa sekolah menengah tingkat atas, yang dikenal dalam bentuk mulai dari kenakalan pelajar (misalnya mencontek), tawuran, keterlibatan dengan narkoba maupun aktivitas seksual dini. Hal-hal tersebut umumnya menjadikan kalangan ini sebagai obyek dari tindakan afirmatif atau tindakan tegas dari sekolah melalui guru.

Salahsatu bentuk tindakan afirmatif yang populer di sekolah adalah penghukuman. Untuk setiap jenis pelanggaran, logikanya, terdapat variasi penghukuman mulai dari pemberian sanksi, dicabutnya fasilitas tertentu hingga pengenaan hukuman fisik. Permasalahannya, mengapa tindakan afirmatif tersebut harus berupa hukuman (dalam rangka tidak melakukan perbuatannya lagi)? Mengapa tidak dengan cara penciptaan shaming? Atau, jangan-jangan, penghukuman juga secara teoritik dapat berefek timbulnya rasa malu yang dapat mencegah dilakukannya perbuatan yang menjadi sumber datangnya hukuman?

Terhadap hal ini, berbagai pertanyaan kritis dapat diajukan: Apakah subyek dengan karakteristik siswa SLTA konon tidak mempan atau tidak akan berubah perilakunya bila hanya dipermalukan? Atau, sebaliknyalah yang terjadi, yakni justru tindakan mempermalukan dapat dianggap tidak efektif dipergunakan terhadap sebagian pelanggaran atau penyimpangan tertentu? Kemungkinan pula, bahwa sebenarnya para guru SLTA, karena satu dan lain hal, tidak terbiasa dengan metode pengubahan tingkah laku lainnya kecuali penghukuman?

Berdasarkan permasalahan penelitian di atas, maka penelitian ini pada dasarnya akan mengkaji tiga pertanyaan umum sebagai berikut: Mengapa memilih tindakan afirmatif penghukuman terhadap siswa? Mengapa tidak memilih tindakan afirmatif pemberian malu terhadap siswa? Adakah hambatan (constraint) guna melakukan pemberian malu sebagai metode penghukuman?


3. Metode
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang secara analitis berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas.

Subyek penelitian ini adalah para guru, khususnya guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan), sebagian sekolah menyebutnya dengan guru BK (Bimbingan dan Konseling) dan atau minimal guru wali kelas, di sekolah lanjutan tingkat atas. Mengapa guru BP atau guru wali kelas, mengingat kedua kategori guru inilah yang memiliki akses besar dan juga kewenangan untuk menghukum atau tidak menghukum siswa.

Dikaitkan dengan teknik pengumpulan data, maka subyek didatangi di sekolah masing-masing, diwawancarai dan jika mungkin dilanjutkan dengan observasi atas situasi setempat. Subyek guru diperoleh dari sekolah-sekolah di lingkungan Depok, Jawa Barat. Tidak terdapat pertimbangan khusus mengapa Depok dipilih sebagai lokasi, selain karena Depok adalah kotamadya tempat kampus Universitas Indonesia berada.

Hal lain yang menambah bobot pertimbangan bahwa tidak akan ada bedanya dalam hal pemilihan lokasi adalah mengingat homogenitas situasi persekolahan di DKI Jakarta dan sekitarnya dalam arti bahwa seluruh SLTA tersebut menjalankan kurikulum yang sama, kalangan populasi Depok yang tidak banyak berbeda dengan penduduk DKI Jakarta pada umumnya, dibiayai dengan anggaran yang relatif sama serta berlakunya ide belajar-mengajar yang juga sama.

Untuk wawancara, pewawancara dilengkapi dengan panduan wawancara. Dipergunakan pula alat bantu berupa tape recorder. Pewawancara adalah asisten dari penulis.
Karena data yang ingin didapat adalah sejauhmana konsep atau notion atau ide yang berkembang di benak subyek yang diwawancara terhadap pemberian hukuman (punishment) ataupun pemberian malu (shaming) dalam kasus kenakalan siswa di sekolah, maka wawancara dilakukan tidak dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat langsung sesuai dengan panduan wawancara.

Pertanyaan dalam wawancara bukan bersifat menanyakan pilihan atau mana yang lebih dipilih oleh subyek penelitian bila kenakalan dilakukan siswa. Sebaliknya, lebih bersifat berbincang-bincang mengenai kenakalan yang terjadi di sekolah masing-masing dan kemudian membiarkan subyek bercerita, sampai kemudian didapati kondisi yang merujuk pada dipilihnya suatu tindakan yang bersifat menghukum atau mempermalukan siswa.


4. Hasil
4.1. Lokasi penelitian

1. SMIP A, Depok
Di sekolah ini, makasalah kenakalan anak di sekolah ditangani 3 pihak yang berbeda, yaitu wali kelas, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan dan guru Bimbingan & Penyuluhan (BP) yang juga melakukan tugas BK (Bimbingan dan Konseling). Dalam hal terjadi kenakalan, maka yang pertama-tama menanganinya adalah wali kelas. Hal ini berlaku pula bila kenakalan ditemukan atau dihadapi oleh guru yang lain. Setelah itu, bila dirasakan wali kelas tidak mampu menanganinya, kasus diserahkan kepada Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan atau BP, namun sepenuhnya merupakan keputusan wali kelas yang bersangkutan.

SMIP ini memfokuskan kurikulumnya pada bidang akomodasi perhotelan. Sekolah ini memiliki 4 kelas, dengan jumlah siswa per kelas rata-rata 55 orang. Dengan jumlah siswa di atas 200 orang ini, SMIP ini hanya memiliki 1 orang guru BP.

Wawancara dilakukan dengan guru BP dan guru wali kelas 1.

2. SMK (SMEA) B, Depok
Rantai keputusan menyangkut kasus kenakalan di SMEA ini sama dengan sekolah pertama, yakni pertama-tama ditangani wali kelas, kemudian BP atau Kesiswaan. Susunan guru BP di SMEA ini terdiri dari 3 orang, salahsatu diantaranya adalah polisi dari Polres Depok. Sekolah tersebut memutuskan untuk memiliki satu orang guru BP yang juga polisi agar memperoleh kemudahan bila ada siswanya yang terpaksa berurusan dengan kepolisian, sehingga sekolah bisa lebih aman

Dalam pengumpulan data di SMEA ini, wawancara dilakukan dengan guru BP senior. Di sekolah ini, guru BP juga melakukan tugas BK.


3. SMUN C, Depok
Jumlah guru BP yang ada di sekolah itu adalah 4 orang, mengingat jumlah siswa di SMUN tersebut saat ini mencapai 700 orang. Sesuai aturan Depdiknas, idealnya 1 guru BP melayani 150 siswa. Semua guru BP juga melakukan tugas BK.

Mekanisme pemberian tindakan terhadap kenakalan siswa sama dengan 2 sekolah lainnya. Yang berbeda adalah tata-tertib yang ada. SMUN ini memiliki satu buku khusus mengenai tata tertib yang terdiri dari 100 pasal lebih, dengan rincian mengenai tindakan apa untuk pelanggaran apa secara detail dan satu per satu. Sama dengan kedua sekolah lainnya, SMUN tersebut juga menyusun tatibnya sendiri dengan berpatokan pada aturan dari Depdiknas.

Pengumpulan data di SMUN dilakukan melalui wawancara dengan seorang guru BP.

4. SMUN D, Depok
SMU 109 memberikan bentuk hukuman yang bervariasi kepada siswanya, mulai dari teguran sampai pada dikeluarkan dari sekolah. Istilah lain yang digunakan adalah “dikembalikan kepada orang tua” atau “diminta untuk mengundurkan diri”. Di SMUN 109 ini, aturan dilaksanakan dengan memberikan kepada semua siswa sebuah buku saku aturan yang apabila siswa melakukan pelanggaran ada kredit point hukuman dan bila sampai kepada kredit point tertentu ada hukumannya, Sumber menyatakan, tidak ada konsep pemberian hukuman terhadap pelanggaran peraturan oleh siswa, khususnya hukuman fisik.
Wawancara dilakukan dengan koordinator Guru BK SMUN D ini.

5. SMUN E, Depok
SMUN E ini tidak memiliki konsep pemberian hukuman terhadap pelanggaran peraturan oleh siswa, lebih khusus lagi hukuman fisik. Sumber yang diwawancarai mengakui bahwa hanya akan melakukan teguran terhadap siswa yang melanggar aturan. Sementara itu, SMUN E juga menerapkan sistem kredit point. Siswa terancam tidak naik kelas kalau nilai kepribadiannya kurang dari seharusnya. Bahkan, bukan tidak mungkin yang bersangkutan akhirnya dikeluarkan dari sekolah.

Wawancara dilakukan dengan koordinator Guru BK SMUN E.

6. SMU P, Depok
SMU P adalah SMU yang unik karena memperkenalkan kombinasi pendidikan ala Indonesia dan Turki. SMU ini memberlakukan aturan-aturan sistem pendidikan Turki dalam tata tertib siswa. Wajar bila kemudian aturan sistem pendidikan Turki yang dominan. Sumber di SMU ini mengatakan, ”Selain kami mengacu ke kurikulum dan aturan-aturan dari pemerintah, kami juga menerapkan kurikulum dan aturan untuk siswa secara utuh, sama seperti sekolah-sekolah di Turki.”
Di SMU P ini, mereka tidak mengenal sistem guru BK, yang ada adalah Rechbelic yang pada dasarnya memiliki arti sama dengan BK. Pelanggaran oleh siswa diserahkan sepenuhnya kepada guru bidang kesiswaan.

Wawancara dilakukan dengan Sekretaris Bidang Kesiswaan SMU P.


4.2. Hasil wawancara
Saat ditanyakan mengenai tindakan apa yang dilakukan pihak sekolah bila menemukan tindak kenakalan dari siswanya saat di sekolah, ketiga sekolah memberikan jawaban yang sama. Yakni, untuk pertama-tama, mereka menggunakan istilah ‘peringatan’.

“Biasanya, kami akan memberikan peringatan dulu. Kalau masih terulang lagi, baru kami akan memberi tugas-tugas atau kami ajak bicara dulu. Tapi, hukuman fisik tidak ada,” kata guru BP di SMIP A.

Kalaupun ada hukuman maka, “hukuman pun tidak bisa terlalu menekan. Kami pun tidak boleh punya standar yang terlalu tinggi di sini. Mereka masih mau sekolah saja sudah syukur. Hukuman diberikan agar mereka mau lebih serius saja. Kalau tidak mau mengerjakan PR, ya tugasnya ditambah. Kalau mencontek, ujiannya diambil lalu kami panggil ke kantor. Namun guru BP tugasnya tidak hanya ngasih hukuman saja. Ia juga harus memberi penghargaan pada yang berprestasi,” terang guru BP di SMEA B.

Pengalihan atau permintaan keterlibatan guru BP dalam kasus kenakalan siswa, rupanya, sangat tergantung pada keputusan wali kelas. Guru BP tidak memiliki kewenangan untuk terlibat kecuali ia sendiri yang menemukan kenakalan tersebut. Apabila akhirnya guru BP terlibat, maka ia akan berpatokan pada tiga prinsip bimbingan sesuai yang ditetapkan Depdiknas, yaitu membimbing, menumbuhkan kreativitas siswa dan partisipasi siswa.

“Setelah kami berikan peringatan, bila masih terulang juga, akan kami panggil dan kami ajak berdiskusi. Biasanya saya akan memberikan tugas menulis makalah. Topiknya juga kami tawarkan pada siswa dan siswa boleh menawar. Intinya, pendapat siswa juga harus didengarkan. Dan, kalau hukuman itu dia yang memilih, maka dia harus taat padanya. Biasanya memang hanya dengan penulisan paper atau menulis saja, siswa tidak mau mengulangi lagi. Hukuman fisik sudah tidak ada, misalnya hukuman membersihkan WC sudah tidak dilakukan,” ujar guru BP dari SMIP A.

Lanjut guru BP dari SMUN C sebagai berikut, ”Kalau ada yang mencontek, biasanya pengawas akan mengatakan dengan keras agar yang mencontek itu berusaha sendiri. Dengan begitu, ‘kan dia jadi malu sama teman-teman yang lain, lalu ia akan berusaha sendiri. Kalau masih membandel, ujiannya tidak dinilai. Kalau nilainya jelek, kan itu jadi hukuman buat dia.”

Kelihatan bahwa ketika ditanyakan tentang tindakan apa yang biasa diambil pihak sekolah bila terjadi kenakalan, mereka menggunakan kata ‘hukuman’ untuk menyebut beberapa tindakan yang biasa ‘dipilih’ sebagai respons. Bahkan, walaupun tindakan tersebut pada dasarnya adalah pemberian malu, mereka tetap menyebutnya sebagai hukuman.

Aturan mengenai bentuk kenakalan apa saja yang termasuk dalam kategori intolerable diatur oleh masing-masing sekolah, termasuk pula mengenai perlakuan untuk setiap jenis pelanggaran. Biasanya, jenis kenakalan yang dapat menyebabkan anak dikeluarkan adalah terlibat narkotika, hamil di luar nikah dan pemalsuan nilai rapor.

“Pernah ada kasus siswa memalsukan nilai rapor-nya. Tujuannya untuk memperbesar kans masuk PMDK (seleksi penerimaan mahasiswa untuk masuk PTN tanpa melalui test). Padahal, sebelum diterima, pasti pihak universitas akan meminta data dari kami juga. Sebenarnya nilai siswa itu tidak buruk. Ia siswa pintar, tapi ia mengganti beberapa angka 6. Orang tuanya kami panggil dan kami sarankan untuk tidak melanjutkan bersekolah di sini. Ia bukan kami keluarkan. Kami tidak pernah memakai istilah mengeluarkan, kami hanya menghentikan bimbingan terhadap yang bersangkutan dan siswa kami kembalikan pada orangtuanya. Kasihan orang tuanya, mereka malu sekali. Mereka langsung memindahkannya ke sekolah lain,” ujar guru BK dari SMUN C.

“Pernah juga ada siswa yang terlibat kasus narkotika. Sesuai peraturan, maka kasusnya kami serahkan pada kepolisian. Setelah itu, orang tuanya langsung memindahkan anaknya dari sini. Kami pun mengembalikan ia pada orang tuanya. Kalau tetap bersekolah di sini, kan repot. Dia kan sudah malu sama yang lain. Masyarakat kita kan masih begitu, memandang segala sesuatu memakai kacamata hitam-putih. Biarpun dia sudah putih kembali, tetap saja kelihatan hitam. Kasihan nanti anaknya bila dicurigai terus oleh teman-temannya,” ujar guru wali kelas dari SMIP A.

Berkaitan dengan pembentukan aturan, menurut sumber dari SMUN D, .sekolah telah menterjemahkan sekumpulan perilaku yang termasuk sebagai pelanggaran berdasarkan acuan dari Depiknas. Acuan perilaku tersebut kemudian dimasukkan dalam Buku Panduan Tata Tertib melalui mekanisme Raker Sekolah. Hal ini dilakukan mengingat diperlukannya adaptasi dari peraturan pemerintah tersebut dengan kondisi sekolah yang besangkutan.

Menurut daftar yang terdapat dalam buku panduan tersebut, untuk setiap pelanggaran, terdapat credit point atau poin kredit yang dikenakan. Seperti misalnya :

Terlambat 2 – 5 poin kredit
Tidak memakai seragam
2 – 5 poin kredit
Rambut panjang 2 – 5 poin kredit
Berciuman bibir 50 poin kredit
Berkaitan dengan narkotika 100 poin kredit
Berkelahi 100 poin kredit
Hamil atau menghamili 100 poin kredit

Bentuk-bentuk hukuman yang diambil didasarkan pada prinsip :

1.Hukuman bersifat edukatif
2.Siswa agar tidak mengulangi dan tidak melakukan pelanggaran lain (jera)
3.Siswa lain dapat mengambil pelajaran dari hukuman yang dijalani oleh rekannya sehingga tidak melakukan pelanggaran serupa dan atau pelanggaran lain

Selain itu, sumber dari SMUN D menyatakan, ”Bentuk hukuman yang bisa diberikan bervariasi, mulai dari teguran sampai ke dikeluarkan dari sekolah.” Ada beberapa bentuk pelanggaran dimana hukumannya adalah dikeluarkan dari sekolah, yaitu :

1.Berkelahi
2.Narkotika
3.Hamil atau menghamili
4.Siswa dinilai sudah tidak dapat dibimbing di sekolah

Terhadap pelanggaran itu, semua sekolah menyatakan hukumannya adalah bahwa siswa akan dikeluarkan dari sekolah. Adapun realisasi dari hukuman sebelum dijatuhkan selalu melalui proses yang melibatkan siswa, orang tua siswa, guru BK, wali kelas, guru bidang kesiswaan serta kepala sekolah SMUN D sendiri.

Berkaitan dengan pelaksanaan aturan, terdapat perbedaan kecil antara tiap-tiap sekolah. Di SMUN E, misalnya, aturan dilaksanakan dengan memberikan siswa sebuah buku saku. Didalamnya terdapat aturan pemberian poin kredit berkaitan dengan dilakukannya perilaku tertentu. Apabila poin kredit siswa sudah sampai pada poin tertentu, maka hukumannya adalah sebagai berikut:

Poin kredit Hukuman
2 - 25 Membersihkan pelataran kelas.
26 – 50 Membuang sampah.
51 – 75 Membersihkan ruang atau WC guru.
76 – 100 Membersihkan WC siswa.

Setiap akhir tahun ajaran diadakan “pemutihan” terhadap kredit point yang didapat oleh masing-masing siswa. Walaupun SMUN E tidak menerapkan patokan poin kredit sebagai indikasi perlu-tidaknya siswa dihukum, namun diakui oleh Koordinator Guru BP bahwa,”… siswa sangat terancam untuk tidak naik kelas kalau nilai kepribadiannya kurang, yang pada akhirnya sangat mungkin untuk dikeluarkan dari sekolah.”

Menurut sumber di SMUN E, ”Hal ini dilakukan berlandaskan pada keinginan bahwa sekolah tidak hanya berusaha agar siswa berprestasi secara akademik tetapi juga mempunyai kepribadian yang baik. Semuanya harus dapat dicapai olah siswa secara seimbang. Sehingga, meski nilai akademiknya bagus tetapi sering melanggar aturan, sangat mungkin siswa tidak naik kelas. Selama ini, meski tanpa menjatuhkan hukuman, cara penanganan atau perlakuan tanpa hukuman ini kami nilai sangat efektif.”


5. Diskusi
Seperti terlihat, pihak sekolah (guru) masih menggunakan terminologi ‘hukuman’ untuk menyebut respons berupa tindakan sekolah terhadap kenakalan siswa. Meskipun bentuknya berbeda-beda dan sudah tidak lagi menggunakan perlakuan-perlakuan fisik (kekerasan), tetapi mereka tetap merujuk berbagai tindakan tersebut sebagai hukuman. Walaupun bentuknya berbeda-beda pula, maka selaku hukuman, yang menjadi tujuan adalah timbulnya kesadaraan bahwa dirinya bersalah (guilt) dan munculnya rasa bersalah (guilty feeling) dalam diri siswa karena berbuat hal tertentu.
Dari pernyataan guru-guru tersebut diketahui bahwa shaming tidak dikenal sebagai dasar pemberian perlakuan terhadap siswa yang melakukan pelanggaran tata tertib. Namun mereka menyatakan bahwa tindakan yang selama ini diambil, apabila ditelaah benar-benar, sebenarnya telah mengandung unsur shaming didalamnya. Mengutip salah seorang sumber, ”Kalau kita lihat, sebenarnya kalau siswa dipanggil atau ditegur, itu sudah dapat menjadikan siswa malu karena pasti akan ditanya oleh teman-temannya.” Oleh karena itu, seperti diutarakan sumber yang lain, ”Sanksi hanya diberikan kalau memang sudah sangat terpaksa sekali. Artinya, kalau hanya perlu ditegur, maka kami hanya melakukan teguran.”

Seperti terlihat pula bahwa sumber mengartikan shaming lebih kepada tindakan ‘mempermalukan’. Ini terlihat dari jawaban sumber lain bahwa, ”Kami merasa riskan kalau harus mempermalukan siswa secara sengaja , karena dapat membuat mereka trauma atau minder.” Pemberian malu, yang dalam konteks shame morality muncul dalam bentuk rasa bersalah (guilt) ketika seseorang tidak dapat melakukan sesuatu yang diharapkan oleh orang lain untuk dilakukan (Morris 1976),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar